Menggapai Cakrawala Laiwangi Wanggameti Reach the Horizon

By Simon Onggo E H





Kala semburat cahaya mentari  muncul di balik bukit di hutan Billa, satu per satu suara kicauan burung pun mulai terdengar. Gerombolan perkici pelangi yang saling bersahutan berhasil membangunkan saya dari kantung tidur yang hangat di dalam tenda. Satu ekor saja sudah begitu keras suaranya, apalagi dengan pasukannya yang tak kurang dari duapuluhan ekor. Bagai paduan suara tanpa dirigen yang tak peduli irama, hanya asal keras dan memekakkan telinga pendengarnya.

Namun suara burung itu bukanlah suatu gangguan, sebaliknya malah yang dinantikan. Suasana hutan semakin semarak dengan suara-suara riang itu. Beragam nada, tinggi-rendah, naik-turun sering terdengar dari balik pepohonan yang rapat di depan tenda kami. Seperti sebuah panggilan untuk menyibak dedaunan berembun memasuki panggung pementasan pemilik suara-suara itu.

Blok hutan Billa yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti menjadi rumah beragam jenis burung yang dengan pesonanya masing-masing sanggup membuat penikmatnya kagum. Nyanyian merdunya, tingkah polah nan gesit, warna-warni corak bulunya, serta kemisteriusannya memancing keingintahuan saya. Menyelami  dinamika hidupan liar di kawasan konservasi ini tentu saja sebuah tantangan yang menarik.

Kawasan ini ditunjuk sebagai taman nasional pada tahun 1998 dengan luas sekitar 47.014 ha. Bentuk wilayahnya menyerupai kupu-kupu yang sedang mekar sayapnya bila dilihat dalam peta. Sungai Kambaniru yang mengalir sampai Waingapu berhulu di dalam kawasan yang memiliki dua desa enclave ini. Ibu kota kabupaten Sumba Timur itu berada di sebelah utara dan menjadi gerbang masuk bagi pengunjung. Bandara pertama di Sumba yaitu Umbu Mehang Kunda tak jauh dari pusat kota ini.

Bagi para pengamat burung, pulau Sumba cukup dikenal sebagai salah satu daerah burung endemik dari 23 lainnya di Indonesia. Padang rumput mendominasi permukaan tanah pulau yang termasuk paling selatan dari kawasan Wallacea sub kawasan Nusa Tenggara ini. Hutan yang tersisa kurang dari 7% luas pulau yang mencapai 11.051 km2 ini. Dalam penjelajahannya di nusantara ini, sang penemu garis itu yaitu Alfred Russel Wallace tidak menyebutkan Sumba sebagai salah satu daerah persinggahannya. Dalam bukunya the Malay Archipelago, dia hanya mengunjungi pulau Lombok dan Timor untuk kawasan Nusa Tenggara. 

Kabut masih menggantung di lereng bukit ketika saya dan Jeremias menyusuri jalan setapak menuju kedalaman rimba. Embun membasahi celana saya ketika menyibak ilalang menuju punggung bukit. Lelaki setengah baya (umur berapa) yang selalu membawa parang di pinggangnya ini akan mengantar saya menemukan sang primadona Sumba.


 

Tangannya tiba-tiba menunjuk ke tajuk pohon. “Itu pak, lagi makan buah lamo.” Ujarnya sambil sedikit jongkok. Dua sosok putih sedang berjingkat-jingkat asyik memilih sarapannya. Satu tangkai yang berisi belasan buah dipatahkan dengan paruhnya kemudian dipegang menggunakan kaki kirinya. Pantas saja suaranya yang keras dan menggema di hutan yang tenang ini tak terdengar. Dari suaranya orang Sumba menyebut burung ini kaka. Ya, dialah kakatua jambul jingga atau dalam bahasa latin Cacatua sulphurea citrinocristata, salah satu sub-spesies dari kakatua-kecil jambul-kuning.

Sambil merunduk saya mengarahkan lensa ke sepasang sulphured crested cockatoo  yang endemik Sumba ini. Saya sempat mengabadikannya dalam  beberapa frame sebelum akhirnya terbang. Kaaak kaaak kaaak. Suaranya kembali meriuhkan rimba nan sepi.

“Waktu saya masih kecil, orang rajin ke ladang untuk mengusir kakatua yang kerap turun makan jagung.” Kata Jeremias sembari berjalan menuju kali untuk beristirahat. “Kakatua jadi hama buat jagung.” Lanjutnya sambil mempersiapkan makan siang ketika sudah sampai di tempat yang enak. Setiap orang yang saya tanya tentang kakatua biasanya menyatakan jaman dulu jumlahnya memang banyak. Kakatua ditangkap dan dijual ke Bali, Jawa, dan Sumatra melalui jalur laut. IUCN mengkategorikannya dalam critical endangered atau sangat terancam punah.

 

Keberadaan burung berbulu putih ini sangat melekat dengan kehidupan masyarakat Sumba. Motif yang menggambarkan si jambul jingga ini muncul dengan ekspresi berbudaya seperti tenun ikat dan batu kubur. Kaka makabunggur pirihu kanguting. Sebuah istilah bahasa Sumba yang artinya musyawarah dan mufakat. Istilah ini merujuk pada motif burung kakatua atau jenis paruh bengkok lainnya yang dipahat pada kubur batu. Burung kakatua yang hidup bergerombol ini dipakai untuk melambangkan masyarakat Sumba yang selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan hidup.

Pohon sarang merupakan faktor penting dalam sistem bioekologi burung bersuara keras ini. Tidak semua jenis pohon dijadikan tempat bersarang. Jenis pohon yang umum digunakan untuk bersarang adalah mara (Tetrameles nudiflora) dan mosa (Pometia tomentosa). Yang paling disukai sebagai tempat bersarang adalah yang menjulang tinggi dengan tajuk yang tidak tersambung dengan pohon lain di sekitarnya. Hal ini diduga sebagai strategi anti predator. Berbeda dengan sarang burung pada umumnya, kakatua jambul jingga membuat sarang untuk menempatkan dan mengerami telurnya pada batang pohon dengan memanfaatkan pangkal percabangan yang telah lapuk.

Oki Hidayat peneliti dari Balai Penelitian Kehutanan Kupang pernah mencatat setidaknya ada 9 jenis yang menempati lubang sarang yaitu kakatua jambul jingga, nuri bayan, betet-kelapa paruh-besar, nuri pipi-merah, perkici pelangi, julang sumba, serak jawa, tiong-lampu biasa, dan perling kecil. Keterbatasan lubang sarang yang layak dihuni menyebabkan mereka bersaing dalam menempati lubang-lubang itu. Pada akhir tahun 2012 lalu peneliti yang telah mengamati karakteristik sarang tersebut memasang 7 sarang buatan yang terbuat dari kayu di blok hutan Billa dan Praingkareha. Dengan menggunakan teknik memanjat satu tali (single rope technique), sarang buatan dipasang pada ketinggian 25 meter.  Sayangnya sampai sekarang sarang buatan itu belum dipercaya sebagai tempat hunian yang nyaman.

Hutan Billa diapit oleh dua bukit dengan sebuah sungai yang mengalir musiman di antaranya. Ketika musim penghujan sekitar bulan Desember sampai Februari sungai ini penuh dengan air. Hutan yang berada di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Tabundung ini menjadi tempat andalan bagi para pengamat burung. Banyak jenis burung yang bisa ditemukan di lokasi ini. Bahkan dari lahan terbuka pinggir hutan tempat kami mendirikan tenda dapat melihat burung-burung itu terbang melintasi hutan.

Jalur pengamatan di Billa ini tidak terlalu sulit. Sebidang tanah padat nan gundul yang mencolok diantara rerumputan memudahkan kita menelusuri rindangnya rimba ini. Permukaan tanah yang relatif datar tak akan banyak menguras tenaga saat menapakinya. Kepekaan pendengaran dan penglihatan yang tentunya akan kita butuhkan untuk menemukan keberadaan satwa-satwa indah itu.

Tak jauh dari lokasi bertenda ada sarang nguanggali sebutan masyarakat Sumba pada julang sumba. Musim kawin yang berlangsung sejak bulan Juli sepertinya telah dimanfaatkan sepasang julang untuk meneruskan keturunannya. Sebuah lubang di pohon mara yang tingginya sekitar 18 meter atau 6 kali tinggi ring basket terlihat sering dikunjungi pejantan. Di depan lubang itu sang pejantan hinggap dan dengan lincah memindahkan biji buah dari kantung leher (tembolok) ke ujung paruh. Kemudian menyuapkannya kepada betina yang telah berada di dalam lubang.

Pasangan yang monogami ini telah berhasil menetaskan telur, sehingga betina berada di dalam untuk mengerami. Dan sang pejantan bertugas mencari makan. Kepak sayap burung bernama latin Rhyticeros everetti  menimbulkan suara yang berat mirip helikopter, wuug wuug wuuug. Hempasan sayap itu kembali terdengar di atas tajuk pohon, mungkin sedang mencari buah kahikataru, beringin, atau kalumbang.

Perbukitan yang hampir tiada batasnya terhampar di beberapa sudut pulau Sumba. Birunya langit yang berpadu hijaunya rerumputan begitu menawan menyegarkan mata dan pikiran. Apabila anda ingin menemukan sensasi lain dari panorama itu, bangunlah pagi-pagi. Lekuk-lekuk bukit itu akan membentuk suatu gradasi warna yang memikat di kala matahari mulai terbit. Dinginnya hawa pagi tak mengurangi kenikmatan menyaksikan mahakarya alam ini bahkan sampai kabut yang masih menyelimuti kaki bukit menguap.

Hujan yang turun pada bulan November telah sukses menghijaukan perbukitan yang sebelumnya coklat kering. Sumber air yang bisa diharapkan hanya dari hujan karena tanahnya berkapur dan keras sehingga tidak bisa menyimpan cukup air. Cadangan air di Pulau Sumba salah satunya terdapat di bawah vegetasi hutan di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Kawasan konservasi ini melindungi hutan supaya air masih bisa dinikmati anak cucu kita di masa depan. Hijaunya hutan di taman nasional ini akan membuat orang sadar kalau Sumba sebenarnya tidak semuanya gersang.

Adat masyarakat Sumba sebenarnya tidak bisa lepas dari hutan. Kehidupan mereka sangat tergantung dari ketersediaan sumberdaya hutan. Misalnya ketika membangun rumah mereka akan mencari pohon yang layak dan pantas untuk menjadi tiang utama. Pemilik rumah tidak bisa sembarangan menebang pohon di hutan, karena untuk menentukannya harus melalui upacara adat yang dikenal dengan istilah “urata pogo wasu”. Hutan menjadi tempat yang sakral bagi beberapa adat yang mempercayainya. Hal ini bisa menjadi sebuah kearifan dalam menjaga alam agar tetap lestari. Rusaknya ekosistem hutan tentunya akan merugikan masyarakatnya sendiri.

Disadari atau tidak perilaku mereka terhadap lingkungan alam akan mempengaruhi keanekaragaman hayati di dalamnya. Di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti telah tercatat 84 jenis burung dengan delapan jenis diantaranya termasuk jenis endemik. Kelestarian jenis-jenis itu juga tergantung dari kondisi habitatnya yang masih mendukung atau sudah rusak. Hal ini menjadi potensi sekaligus tantangan karena semakin langka spesiesnya maka akan semakin diburu oleh orang.

Kepunahan suatu spesies dapat dianalogikan seperti menyusutnya air dalam westafel. Ketika westafel diisi penuh kemudian tutup di bawahnya dibuka, airnya secara berlahan akan menyusut. Namun saat tinggal setengah atau seperempat kecepatan air yang dibuang semakin cepat. Begitu pula dengan spesies yang tinggal sedikit jumlahnya akan semakin cepat punah dan tidak terasa hilangnya.

Tutupan hutan di pulau Sumba yang pada tahun 1927 diperkirakan masih 50% dari luas daratan semakin menyusut dari tahun ke tahun. Analisa foto udara tahun 1997 menunjukkan tutupan hutan hanya tersisa 10 %. Data terakhir tahun 2000 malah menjadi semakin parah, hanya 6,5% saja.  Pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan penebangan pohon menjadi sebab utama berkurangnya luasan hutan. Kalau ini dibiarkan maka akan berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya alam yang nantinya akan diwariskan ke anak cucu kita.

Hanya dalam kawasan yang dilindungi keanekaragaman hayati tumbuh subur. Keaslian alam, hutan nan rimbun masih dapat ditemukan di kawasan konservasi. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sebagai salah satu kawasan konservasi di pulau Sumba ini masih menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi. Jenis-jenis burung endemik yang sangat rentan masih terus berjuang untuk mempertahankan keturunannya di kawasan ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan cadangan air juga masih terjaga dengan baik.

“Napinutana berijiaya nainamu napadidikau dangu angudidimu jiabatuna, koru mangganganya  dumma ana umbukumu.” Syair ini dipahami dan hadir dalam tata kehidupan seluruh masyarakat Sumba. Robert Umbu Rihi, seorang polhut yang telah mengabdi lebih dari 3 dekade mengartikannya sebagai “Alam adalah ibumu yang melahirkan kebaikan dan juga saudaramu. Oleh sebab itu rawat dan jagalah mereka, karena mereka akan memberi makan yang cukup untukmu.” Pria asli Sumba ini kerap mengingatkan kembali ungkapan ini kepada masyarakat dalam sosialisasi pembentukan taman nasional ini.

Nama belakang taman nasional ini merujuk pada gunung yang puncaknya merupakan titik tertinggi di pulau Sumba. Banyak versi yang diyakini masyarakat menyangkut asal nama Wanggameti ini. “Dulu masih ada kampung di puncak ini, namun mereka kemudian turun ke lembah karena terjangkit wabah penyakit.” Ujar John Kembi saat menemani saya mendaki puncak ini. “Nawangga nawa meti bisa diartikan pergilah kematian, sering disebut untuk menceritakan kejadian itu.” Lanjutnya. Maka secara turun temurun berubahlah menjadi Wanggameti. 

Gunung yang tidak memiliki aktifitas vulkanik ini bukanlah idaman para pendaki untuk ditaklukkan. Puncaknya termasuk pendek, hanya 1.225 meter dpl. Namun bagaimana pun semua yang paling tinggi bakal menantang. Tekad saya sudah bulat untuk menjelajahinya.

Jika perjalanan diawali dari Waingapu diperkirakan butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai di desa terakhir sebelum mendaki. Jalannya tak semuanya mulus dan tentunya saja berliku mengikuti lekuk perbukitan. Seringkali salah satu sisi jalan berbatasan dengan jurang, bahkan tak jarang di kedua sisinya. Namun saat melewatinya kita akan dihadapkan pada pemandangan yang sangat mengesankan.

Medan ekstrem itu akan lebih nyaman jika ditempuh menggunakan mobil gardan ganda. Tentu saja tidak semua orang memilikinya apalagi para penduduk desa. Alat transportasi yang sanggup melayani masyarakat desa itu hanyalah bis kayu. Bis kayu ini unik karena aslinya adalah truk yang baknya dimodifikasi untuk tempat duduk penumpang. Tak hanya manusia dan barang, tapi hewan pun diangkut. Seperti ayam, anjing, babi, kambing, kerbau, dan kuda.

Mayoritas penduduk sekitar kawasan masih beternak dan berladang. Umum ditemui hewan ternak mereka bebas berkeliaran di sekitar rumah. Sawah hanya ditemukan di daerah yang memiliki sungai yang cukup besar. Teknik bercocok tanam mereka pun masih sederhana. Belasan ekor kerbau berjalan beriringan memutari sawah. Kaki-kakinya yang kekar digunakan untuk membalik dan menghaluskan tanah sehingga siap untuk ditanami padi kembali. Orang Sumba menyebutnya rinca. Dibutuhkan tiga orang untuk bisa mengarahkan mamalia yang tanduknya sering di pajang di rumah adat ini. Perjuangan yang tak mudah meneruskan warisan nenek moyang.

Begitu pun kala panen. Pernah suatu kali saya mengikuti tradisi paria. Di gubuk pinggir sawah, potongan tangkai padi dikumpulkan. Menjelang malam para pemuda kampung, biasanya saudara pemilik sawah diminta bantuannya untuk merontokkan padi. Kopi dan peci minuman beralkohol khas Sumba telah dipersiapkan. Selanjutnya dengan iringan lagu daerah para pemuda itu menari-nari di atas hasil panen dengan berpegangan pada tali. Gerakan kaki yang lincah membuat bulir-bulir padi lepas dari tangkainya. Sahut-menyahut para umbu dan rambu dalam nyanyian ini semakin menghangatkan malam. Dalam cahaya temaram lampu badai dan lilin seseorang memisahkan bulir padi ketika yang lain sejenak melepas lelah.

Kembali ke pendakian, saya melakukannya di akhir Februari saat hujan sudah mulai jarang turun. Sebelum mendaki saya menginap di kantor resort Wanggameti, suatu unit terkecil pengelolaan taman nasional. Panas matahari sudah mulai menyengat meskipun baru pukul 7 saat kami berkemas. Dari kantor saya dan rombongan diantar menuju pintu gerbang berupa papan bertuliskan “jalur pendakian puncak Wanggameti ±7 km”. Tujuh orang berjalan beriringan menyusuri jalan setapak yang bersih dan mudah dikenali. Jalannya masih datar dan semangat masih hangat, sebuah permulaan yang menjanjikan.

Belum sampai satu jam berjalan kami sudah sampai di tempat beristirahat yang pertama. Dua pohon beringin besar tumbuh menyilang sehingga mirip pintu gerbang. Sayangnya salah satu wangga nama Sumba untuk beringin telah roboh. Saya duduk di batangnya sambil mencomoti pacet yang menempel di kaki. Puluhan ekor pacet berlomba menancapkan mulutnya di permukaan kulit kaki saya yang lumayan terbuka. Hanya memakai sandal,  saya pun merelakan darah saya dihisap makhluk elastis ini.

Dua orang ekspatriat yang bekerja di Jakarta, Andy Dean dan Daniel Quinn melakukan pendakian juga sebulan sebelumnya. Kala hujan masih sering turun. Dari cerita mereka, serangan pacet ini tak pernah mereka dialami sebelumnya saat menjelajahi puncak-puncak di Kalimantan dan Sumatera. Dalam laman blognya, Daniel Quinn sudah memberikan peringatan tentang kehadiran para penghisap darah ini. Tapi peringatan itu tak berlaku bagi warga lokal. John Kembi, pemandu kami tetap bersih tanpa satupun pacet yang mampu mengigit kakinya yang hanya mengenakan sandal jepit. Rupanya dia menyimpan resep rahasia.

Di jalan datar terakhir sebelum menanjak ke puncak, kami membuka bekal camilan. Setelah stamina sedikit pulih, kaki ini siap melanjutkan langkah penentuan. Tempo berjalan melambat dan semakin sering berhenti untuk mengambil nafas. Sambil terus berharap saya juga melirik angka pada altimeter GPS yang merambat pelan. Dan di sebidang tegakan pohon yang batangnya ditumbuhi lumut, akhirnya mentok juga di angka 1.225 meter. Sampai sudah di puncak Wanggameti.  Jika beruntung anda bisa segera meng-up date status di media sosial. Kalau hanya berkirim pesan pendek atau menelpon sudah dipastikan sinyalnya cukup memadai.

Sebelum gelap kami sudah kembali ke kantor resort dengan disambut singkong goreng. Stopwatch yang menyala dari pertama berangkat, saya hentikan pada 10 jam lebih beberapa menit. Tidak ada target waktu karena kami ingin santai dalam perjalanan ini. Bahkan kami cukup lama berada di puncak sembari menikmati makan siang. Seraya mengendapkan kenangan langkah-langkah kecil kami.

Temaram langit senja mengantar saya pada harapan agar kawasan ini tetap lestari. Semoga para penghuni rimba tak terusik dan bebas beraksi. Saya teringat sebuah adegan. Sambil menciap dan mengoceh berhentilah perkici itu sejenak dan menghiasi pohon dengan warnanya yang cemerlang, lalu bergegas pergi mencari cakrawala baru.


Other Blog